Kita semua tahu bahwa pengangguran di negeri ini luar biasa besarnya. Kita semua juga tahu bahwa lulus dari perguruan tinggi (sarjana) ternama pun tidak selalu menjamin pekerjaan seperti yang diharapkan.
Ironisnya lagi, serbuan tenaga kerja asing yang merangsek ke negeri ini meningkat dengan begitu tajam. Menurut data Depnakertrans, pada tahun 2004 hanya ada 19.567 ekspatriat di negeri ini. Tetapi di akhir tahun 2005, jumlahnya sudah mencapai lebih dari 51 ribu. Sebanyak 59,86% dari jumlah tersebut menduduki jabatan profesional, sementara 32,47% memegang pucuk pimpinan. Tentu saja, mereka menikmati fasilitas dan gaji yang begitu wah.
Konsep Dasar
Menurut saya, idealnya perguruan tinggi hadir sebagai institusi pembangun linkage antara dunia sekolah dan dunia kerja. Perguruan tinggi menjadi jembatan yang mempersiapkan lulusan sekolah dasar-menengah menjadi personel yang siap pakai dan siap diberdayakan.
Lulusan perguruan tinggi kemudian memegang “tanggung jawab” sebagai pemberi value added bagi perusahaan. Lebih lengkap lagi, lulusan perguruan tinggi dituntut untuk bisa meningkatkan value added perusahaan dengan menggunakan sumberdaya internal secara optimal serta memberikan feedback demi perbaikan perusahaan.
Sayangnya, perguruan-perguruan tinggi di Indonesia tidaklah sama kualitasnya. Ada yang benar-benar highly-reputable, tetapi ada pula yang sekadar (maaf) menjual ijazah. Akibatnya, lulusan perguruan tinggi menjadi sangat besar variansnya.
Banyak perusahaan yang mengaku telah membatasi varians mutu lulusan dengan mengontrol beberapa variabel, seperti IPK di atas 3, akan tetapi hasil tes internal perusahaan menunjukkan bahwa varians mutu lulusan tetap lebar.
Akibatnya lagi, ada lulusan-lulusan yang berkualitas tetapi masih menganggur; dan ada pula lulusan-lulusan yang “so-so” tetapi sukses mendapat pekerjaan dan memberi “value added” yang destruktif bagi perusahaan.
Kalau situasi demikian tetap terus terpelihara, bukan mustahil pengangguran di tanah air akan terus meningkat jumlahnya.
Yang Mempengaruhi Mutu Lulusan
Kualitas input. Untuk top PTN di Indonesia, screening test (PMB) dilakukan dengan cukup ketat. Di samping itu, beberapa PTN juga membuka jalur penerimaan tersendiri yang kualitasnya lebih disesuaikan lagi. Tapi ada juga perguruan tinggi yang membuka jalur penerimaan yang “ala kadarnya”; semata-mata karena kekurangan mahasiswa. Kalau sudah begini, wajar jika kualitas lulusan kemudian “biasa-biasa saja”.
Kualitas dan kuantitas dosen. Ada dosen berkualitas yang mengajar dengan penuh motivasi dan memberi materi dengan begitu inspiring. Ada juga dosen yang hanya membacakan buku, bercakap-cakap dengan papan tulis, dan kurang memiliki dedikasi. Perguruan tinggi memiliki kontribusi terhadap baik-buruknya kualitas dosen lewat kebijakan pengangkatan, remunerasi, dan faktor lingkungan. Gap pengajar yang begitu lebar dan dosen yang miskin akan pengalaman praktis kurang baik efeknya bagi mahasiswa.
Sistem penilaian. Walau sudah diatur oleh Dirjen Dikti, perbedaan sistem penilaian di perguruan-perguruan tinggi begitu lebar. Ada yang mensyaratkan nilai C sebagai batas kelulusan. Ada yang mensyaratkan penulisan research report. Ada juga yang bisa lulus asal nggak bener-bener kebangetan. Akibatnya, nilai A di sebuah perguruan tinggi “biasa” mungkin hanya “setara” dengan nilai C di perguruan tinggi yang highly-reputable.
Teaching materials. Perguruan tinggi seharusnya didukung oleh teaching materials yang memadai. Sayangnya, membeli buku teks dan berlangganan jurnal ilmiah membutuhkan biaya tinggi. Di kampus kami, alhamdulillah banyak mahasiswa yang bisa menikmati buku teks asing yang bermutu dan akses terhadap jurnal-jurnal terkini. Apakah setiap perguruan tinggi bisa mendapatkan fasilitas semacam itu? I doubt it.
Kualitas sarana prasarana. Penyelenggaran pendidikan tinggi tidak cuma disediakan dengan adanya ruang-ruang kelas. Perguruan tinggi harus punya perpustakaan, ruang dosen, aula, musholla/ruang ibadah, ruang pertemuan/ruang sidang, ruang bagi kegiatan kemahasiswaan, restroom, pantry, tempat parkir, dan seterusnya. Apa setiap perguruan tinggi punya semua itu? Kalau iya, bagaimana dengan kualitasnya?
Kerjasama. Yang sering dilupakan, perguruan tinggi kadang terlalu angkuh dan percaya diri tanpa merasa membutuhkan bantuan pihak lain. Faktanya, kerjasama antara perguruan tinggi dengan dunia kerja, organisasi profesi terkait, dan bahkan perguruan tinggi lainnya adalah wajib. Idealnya, dosen tamu harus sering didatangkan, studi banding/site visit juga perlu dilakukan.
Masalah-Masalah Umum
Kalau faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut di atas gagal dipenuhi dengan baik, maka wajar jika lulusan-lulusan perguruan tinggi kualitasnya tidaklah seberapa. Apalagi jika mereka dibandingkan dengan lulusan-lulusan India atau Taiwan misalnya.
Kepercayaan diri. Sudah banyak dosen yang mengeluhkan rendahnya kepercayaan diri mahasiswa, baik itu kepercayaan diri secara umum, teknis, analitis, komunikasi, maupun kepercayaan diri dalam bidang lainnya. Contoh gampangnya, mahasiswa malas untuk bertanya/berkontribusi pada diskusi kelas. Sementara ketika ditanya apa mereka sudah faham dengan materi kuliahnya, lagi-lagi tidak ada yang menjawab. Kalau sudah begini, sulit sekali membangkitkan kepercayaan diri ketika mereka berada di dunia kerja.
Komunikasi efektif. Kebanyakan kegiatan perkuliahan cenderung dilakukan secara satu arah. Dosen dianggap dewa yang maha tahu segalanya. Akibatnya, mahasiswa merasa bahwa dosen adalah satu-satunya sumber ilmu. Akibat laten yang lebih parah, mahasiswa jadi minim dalam kemampuan komunikasi karena tidak terbiasa bertanya, berinteraksi dengan dosen, melakukan presentasi, diskusi kelompok, atau adu argumentasi.
Pengetahuan praktis. Banyak mahasiswa yang memiliki pengetahuan teoretis yang mumpuni namun tidak dilengkapi dengan pengetahuan praktis. Lucu jadinya jika seorang lulusan finance misalnya, tidak bisa memahami transaksi perbankan, praktek perpajakan, sulit merumuskan dan mempraktekkan feasibility study, tidak paham standar akuntansi internasional atau PSAK, tidak mengerti risk-based audit, dan juga praktek keuangan lainnya. Ibaratnya, mereka punya Ferrari tapi nggak bisa nyetir.
Presentasi dan kemampuan meyakinkan orang lain. Dalam dunia kerja, kemampuan presentasi, pitching, dan meyakinkan orang lain adalah skill yang mutlak diperlukan. Sayangnya, tidak semua kegiatan perkuliahan memfasilitasi mahasiswanya untuk melakukan presentasi. Sebagian mahasiswa memang terlatih dengan mengikuti kegiatan kemahasiswaan. Namun jumlahnya tentu tak seberapa dibandingkan jumlah seluruh mahasiswa yang ada.
Leadership. Seperti sudah disinggung di atas, mahasiswa yang pernah terlibat dalam organisasi kemahasiswaan sedikit beruntung karena memiliki tempat untuk mengembangkan kemampuan leadershipnya. Tapi, tentu tidak banyak lulusan yang sempat mendapatkan pengalaman leadership tersebut. Dunia kerja kini tidak lagi menuntut kinerja individual yang superior, tetapi lebih dari itu, kemampuan leadership dan teamwork yang mumpuni.
Keberanian dan etika. Sudah jadi rahasia umum kalau lulusan kita sering sungkan dalam mengambil keputusan berdasar sound business practice, corporate government, regulasi yang berlaku, cost-benefit analysis, project management, dan variabel lainnya. Namun, ada juga sebagian lulusan yang terlalu “berani” menembus batas etika bisnis maupun etika profesi yang seharusnya menjadi pegangan. Etika mutlak diperlukan agar kemampuan yang dimiliki tidak digunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan moral dan hukum.
Pengetahuan bisnis lemah. Sekarang jamannya globalisasi. Kita perlu memahami adanya transaksi keuangan dan pelaporan lintas negara, harmonisasi dan konvergensi antara satu kebijakan/satu negara dengan yang lainnya, dan ide pasar bebas (AFTA. EEC, WTO, dsb) yang semakin berkembang. Akibatnya, tanggung jawab seorang lulusan perguruan tinggi tidak melulu terbatas di bidangnya, tetapi juga memperluas ke luar daerah, mengarahkan orientasinya ke bisnis yang lebih bersifat strategik, dan bukan sekadar operasional atau taktikal.
Kemampuan bahasa inggris. Di sebagian perguruan tinggi, kemampuan bahasa inggris mahasiswa/lulusannya masih perlu dipertanyakan. Beberapa memang sudah mewajibkan skor TOEFL minimum dan memfasilitasi pendidikan/kursus inggris cuma-cuma bagi mahasiswa. Tapi respon dari mahasiswa belum terlalu baik. Padahal, kemampuan bahasa inggris mutlak diperlukan tidak hanya secara pasif, tetapi juga dalam presentasi, diskusi kelompok, penulisan laporan, dan sebagainya.
Komputer dan internet. Ini kisah nyata. Saya pernah bertemu dengan seorang mahasiswa S2 dari daerah yang tidak bisa mengoperasikan Microsoft Word dan bingung luar biasa dengan yang namanya internet. Tanpa bermaksud su’udzon, saya jadi bertanya-tanya, dulu gimana ya dia menyelesaikan skripsinya? Jangan-jangan…
Masalah persepsi umum. Ada sebagian profesi yang dicap negatif oleh publik. Akuntan misalnya. Dalam sebuah polling yang dilakukan suatu media, akuntan dianggap less trusted daripada pengacara, politisi, dan jurnalis. Wajar memang, mengingat banyaknya oknum akuntan yang sering melakukan mark-up project untuk kepentingan kelompok/pribadi, menyusun studi kelayakan tanpa menghitung depresiasi agar cost tidak terlalu tinggi, atau membuat laporan keuangan yang menyesatkan investor/publik. Siapkah mahasiswa jaman sekarang untuk menghadapi persoalan semacam itu?
Solusi
Kesempatan presentasi secara individual. Idealnya, kegiatan perkuliahan bisa memfasilitasi mahasiswa untuk melakukan presentasi, berdiskusi, melatih komunikasi, beradu argumentasi tanpa saling menjatuhkan. Lebih baik lagi jika kesempatan tersebut dilakukan dalam bahasa inggris.
Praktik simulasi bisnis. Khususnya di bidang bisnis/keuangan, perkuliahan banyak berkutat pada sisi teori dengan mengabaikan kemampuan praktis. Dengan praktik simulasi bisnis semacam itu, kemampuan teknis yang dimiliki akan lebih diarahkan untuk mengatasi persoalan (problem solving) dan membuat keputusan (decision making).
Integritas dan profesionalisme. Kemampuan untuk menegakkan integritas dan profesionalisme mutlak diperlukan karena seorang lulusan perguruan tinggi nantinya akan bertanggung jawab penuh pada perusahaan dan kepentingan publik (stakeholder). Mereka juga dituntut untuk tunduk pada standar profesi. Sayangnya, mata kuliah terkait dengan keagamaan, civics, etika, dan personality development seringkali dipandang sebelah mata oleh mahasiswa.
Suasana ilmiah yang terkondisi. Kuliah seharusnya bisa menjaga terpeliharanya suasana ilmiah. Dengan demikian, mahasiswa “akrab” dengan perpustakaan, familiar dengan dosen, betah berjam-jam nongkrong di lab, dan melakukan kegiatan ilmiah lainnya. Sayangnya, banyak mahasiswa yang hanya kuliah, bikin tugas, praktikum, lalu pulang.
Jangan jadi kupu-kupu. Seperti disinggung di atas, banyak mahasiswa yang jadi kupu-kupu: kuliah-pulang, kuliah-pulang. Padahal, ada baiknya spend some times di kampus untuk melakukan kegiatan organisasi kemahasiswaan, terlibat dalam kegiatan olahraga, menjadi asisten/tutor, magang dan terlibat dalam proyek penelitian, dan kegiatan-kegiatan positif lainnya.
Sikap mental positif. Dunia kerja penuh dengan tantangan dan tekanan yang saling berbenturan antara pihak-pihak berkepentingan (conflict of interest). Ada baiknya sejak dini disiapkan sikap mental positif seperti trust, image positif, integritas, profesionalisme, dan kredibilitas. Integritas dan kredibilitas, terutama, sangat penting untuk mengatasi masalah persepsi umum seperti tersebut di atas.
PS: Selamat bagi UGM yang masuk Top 100 Best University versi The Times. Semoga segera menyusul bagi universitas-universitas lain.
[ BC Blog Competition – KE]